MAKALAH PEMERIKSAAN
AKUNTANSI 1
KODE ETIK PROFESI
AKUNTAN
Disusun untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Pemeriksaan
Akuntansi 1
Dosen Wiyonoroto, SE, M.Pd.
Disusun oleh :
SEKOLAH
TINGGI ILMU EKONOMI RAJAWALI PURWOREJO
TAHUN
AKADEMIK 2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, Wajah dunia seakan
mendapatkan pukulan berat dari banyaknya tragedi-tragedi kemanusiaan, bisnis
dan politik yang akhirnya bermuara pada derita krisis global saat ini.
Banyaknya kejadian memilukan didunia ini cenderung disebabkan oleh banyaknya
pengabaian etika dalam berbagai lini kehidupan masyarakat dunia. Salah satu
lini kehidupan masyarakat dunia ini adalah kegiatan Bisnis. Kebutuhan hidup
masyarakat dunia tidak mungkin terpenuhi tanpa adanya Kegiatan bisnis.
Dalam sepuluh tahun terakhir, cukup banyak tragedy kehancuran bisnis yang
terjadi di dunia, tragedy ini memberi dampak penderitaan yang cukup signifikan
pada kehidupan masyarakat luas dan tak sedikit korban yang berjatuhan
karenanya. Sebagian besar Tragedy ini dipicu oleh adanya pengabaian etika dalam
setiap kegiatan bisnis. Secara singkat, Pengabaian etika adalah dilakukannya
suatu kegiatan yang dianggap benar oleh para pengambil keputusan, namun membawa
dampak merugikan atau dianggap salah oleh pihak lain . Contoh pengabaian etika
itu sendiri antara lain adalah, praktek kecurangan dalam pembuatan laporan
keuangan, penyuapan, window dressing, dan lain sebagainya.
Dinamika
pengabaian etika yang seperti inilah yang akhirnya memunculkan skandal
korporasi Enron dan Arthur Andersen, WorldCom, Tragedi Lumpur Lapindo, Kematian
bayi-bayi di China akibat dicampurnya melamin dalam susu bayi,kasus obat nyamuk
HIT dan lain sebagainya.
Berkaca dari
beberapa kejadian yang memilukan tesebut, para praktisi bisnis dan keuangan
dunia mulai memperluas area manajemen resiko mereka. Dari yang awalnya hanya
berfokus pada area manajemen resiko bisnis, mereka mulai menyadari bahwa mereka
perlu menerapkan manajemen dalam lingkup etika. Dalam literature, manajemen di
lingkup etika ini disebut manajemen resiko etika. Dalam Brooks (2004)
dinyatakan, Para praktisi bisnis kini mulai menyadari bahwa meskipun manajemen
risiko cenderung berfokus kepada masalah-masalah non-etis, bukti yang ada
menunjukkan bahwa penghindaran bencana dan kegagalan juga memerlukan
perhatian kepada masalah risiko etika. Terjadinya perbuatan tercela dalam
dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin
hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan
kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan
kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap
etika bisnis.
Melihat
raelita yang demikian kritisnya kondisi dari berbagai lapisan kehidupan yang
ada, maka salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mempelajari adanya kode
etik asing-masing lini dan dijalankan
sesuai ketentuan masing yang
diharapkan semua aspek kehidupan dapat berjaalan seimbang dengan tujuan bersama
tanpa merugikan di salah satu pihak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian profesi akuntan
Menurut
International Federation of Accountants (dalam Regar,2003)
yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang
mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk
bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada
perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah,
dan akuntan sebagai pendidik.
Dalam arti sempit,
profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan
oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit,
akuntansi, pajak dan konsultan manajemen.
Profesi
Akuntan biasanya dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti
organisasi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia(IDI). Supaya dikatakan profesi ia harus memiliki
beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan
sebagai pihak yang memerlukan profesi, mempercayai hasil
kerjanya. Adapun ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan
pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
2.
Memiliki kode etik sebagai pedoman
yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
3.
Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh
masyarakat atau pemerintah.
4.
Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
5.
Bekerja bukan dengan
motif komersil tetapi didasarkan kepada
fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.
Persyaratan ini semua harus dimiliki oleh profesi Akuntan sehingga berhak
disebut sebagai salah satu profesi.
Kode Etik Profesi Akuntansi (sebelumnya disebut Aturan
Etika Kompartemen Akuntan Publik) adalah aturan etika yang harus diterapkan
oleh anggota Institut Akuntan Publik Indonesia atau IAPI (sebelumnya Ikatan
Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Publik atau IAI-KAP) dan staf
profesional (baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI) yang
bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP). Tujuan profesi akuntansi adalah
memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai
tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk
mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
1.
Kredibilitas. Masyarakat
membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2.
Profesionalisme. Diperlukan individu
yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai
profesional di bidang akuntansi.
3.
Kualitas Jasa. Terdapatnya
keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar
kinerja tertinggi.
4.
Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan
harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang
melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
2.2 Jenis-jenis Akuntan Di Indonesia
a.
Akuntan Publik
Akuntan
Publik adalah seorang praktisi dan gelar profesional yang diberikan kepada
akuntan di Indonesia yang telah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan RI untuk
memberikan jasa audit umum dan review atas laporan keuangan, audit kinerja dan
audit khusus serta jasa dalam bidang non-atestasi lainnya seperti jasa
konsultasi, jasa kompilasi, dan jasa-jasa lainnya yang berhubungan dengan
akuntansi dan keuangan.Ketentuan mengenai praktek Akuntan di Indonesia diatur
dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954 yang mensyaratkan bahwa gelar akuntan
hanya dapat dipakai oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya dari
perguruan tinggi dan telah terdaftar pada Departemen keuanganR.I.
Untuk dapat
menjalankan profesinya sebagai akuntan publik di Indonesia, seorang akuntan
harus lulus dalam ujian profesi yang dinamakan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik
(USAP) dan kepada lulusannya berhak memperoleh sebutan “Bersertifikat Akuntan
Publik” (BAP). Sertifikat akan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Sertifikat Akuntan Publik tersebut merupakan salah satu persyaratan utama untuk
mendapatkan izin praktik sebagai Akuntan Publik dari Departemen Keuangan.
Profesi ini dilaksanakan dengan standar yang telah baku yang merujuk kepada praktek akuntansi di Amerika Serikat sebagai ncgara maju tempat profesi ini berkembang. Rujukan utama adalah US GAAP (United States Generally Accepted Accounting Principle’s) dalam melaksanakan praktek akuntansi. Sedangkan untuk praktek auditing digunakan US GAAS (United States Generally Accepted Auditing Standard), Berdasarkan prinsip-prinsip ini para Akuntan Publik melaksanakan tugas mereka, antara lain mengaudit Laporan Keuangan para pelanggan.
Kerangka standar dari USGAAP telah ditetapkan oleh SEC (Securities and Exchange Commission) sebuah badan pemerintah quasijudisial independen di Amerika Serikat yang didirikan tahun 1934. Selain SEC, tcrdapat pula AICPA (American Institute of Certified Public Accountants) yang bcrdiri sejak tahun 1945. Sejak tahun 1973, pengembangan standar diambil alih oleh FASB (Financial Accominting Standard Board) yang anggota-angotanya terdiri dari wakil-wakil profesi akuntansi dan pengusaha.
Profesi ini dilaksanakan dengan standar yang telah baku yang merujuk kepada praktek akuntansi di Amerika Serikat sebagai ncgara maju tempat profesi ini berkembang. Rujukan utama adalah US GAAP (United States Generally Accepted Accounting Principle’s) dalam melaksanakan praktek akuntansi. Sedangkan untuk praktek auditing digunakan US GAAS (United States Generally Accepted Auditing Standard), Berdasarkan prinsip-prinsip ini para Akuntan Publik melaksanakan tugas mereka, antara lain mengaudit Laporan Keuangan para pelanggan.
Kerangka standar dari USGAAP telah ditetapkan oleh SEC (Securities and Exchange Commission) sebuah badan pemerintah quasijudisial independen di Amerika Serikat yang didirikan tahun 1934. Selain SEC, tcrdapat pula AICPA (American Institute of Certified Public Accountants) yang bcrdiri sejak tahun 1945. Sejak tahun 1973, pengembangan standar diambil alih oleh FASB (Financial Accominting Standard Board) yang anggota-angotanya terdiri dari wakil-wakil profesi akuntansi dan pengusaha.
b.
Akuntan Pemerintah
Akuntan Pemerintah, adalah akuntan yang bekerja pada
badan-badan pemerintah seperti di departemen, BPKP dan BPK, Direktorat Jenderal
Pajak dan lain-lain.
c.
Akuntan Pendidik
Akuntan Pendidik, adalah akuntan yang bertugas dalam
pendidikan akuntansi yatu mengajar, menyusun kurikulum pendidikan akuntansi dan
melakukan enelitian di bidang akuntansi.
d.
Akuntan Manajemen/Perusahaan
Akuntan Manajemen, adalah akuntan yang bekerja dalam
suatu perusahaan atau organisasi. Tugas yang dikerjakan adalah penyusunan
sistem akuntansi, penyusunan laporan akuntansi kepada pihak intern maupun
ekstern perusahaan, penyusunan anggaran, menangani masalah perpajakan dan
melakukan pemeriksaan intern.
2.3
Pengertian
Kode Etik
Kode etik
adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan
apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi
profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah,
perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Kode etik
akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika sebagai berikut : (Mulyadi,
2001: 53)
a.
Tanggung Jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai
profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan
profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting
dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung
jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu
bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan
profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung
jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota
diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.
b.
Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak
dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan
menunjukan komitmen atas profesionalisme.
Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan
tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di
masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi
kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan
keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas
akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan
publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan
institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini
menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya
mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat
pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi
tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai
tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati
kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota
harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai
profesionalisme yang tinggi.
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik,
setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas
setinggi mungkin.
c.
Integritas
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari
timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi
kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji
keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
d.
Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas
dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain.
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain.
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
e.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang
diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat
dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik.
Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik.
Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.
f.
Kerahasiaan
Setiap
anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan
jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut
tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum
untuk mengungkapkannya.
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
g.
Perilaku profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesi.
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
h.
Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai
dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan
dengan prinsip integritas dan obyektivitas.Standar teknis dan standar
professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan
pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.
2.4 Perumusan Dan Kode Etik Profesi Akuntan di
Indonesia
Etika
profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Draft
Kode Etik Akuntan Indonesia sudah disusun jauh sebelum kongres IAI yang
pertama, namun baru disahkan untuk pertama kalinya pada kongres IAI yang kedua
dalam bulan Januari 1972 dan mengalami perubahan dan penyesuaian dalam setiap
kongres. Sampai dengan tahun 1998, di Indonesia telah diadakan beberapa kali
pergantian Kode Etik. Kode Etik Akuntan Indonesia yang pertama lahir dari
konggres IAI III pada tanggal 2 Desember 1973. Kode Etik ini 90 % merupakan
Kode Etik AICPA yang berlaku di Amerika
Serikat saat itu. Kode Etik yang ke dua sebenarnya belum pernah disahkan oleh
IAI karena sangat kontroversial. Ciri khusus dari Kode Etik ini adalah Kode
Etik ini bukan saja untuk Akuntan Publik tetapi juga untuk Akuntan Manajemen,
Akuntan Pemerintah dan Akuntan Pendidik. Kode Etik yang ke tiga disahkan dalam
konggres IAI V di Surabaya pada tanggal 20-30 Agustus 1986. Menurut
Harahap (1991), Kode Etik ini lahir antara dua kutub ide yang berkembang. Kutub
pertama menghendaki agar Kode Etik hanya mengatur profesi Akuntan Publik saja,
sedangkan kutub yang lain menghendaki agar Kode Etik mengatur semua akuntan
berregister tanpa kecuali di manapun ia berkiprah. Hal ini sesuai dengan apa
yang dinyatakan dalam konggres IAI VIII bahwa Kode Etik IAI dimaksudkan sebagai
panduan dan aturan bagi seluruh anggota baik yang berpraktik sebagai akuntan
publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di
lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya.
Keempat kalinya, Kode Etik IAI dirumuskan dalam kongres IAI VI ditambah dengan
masukan-masukan yang diperoleh dari seminar sehari.
Pemutakhiran Kode Etik Akuntan
Indonesia dilaksanakan tanggal 15 Juni 1994 di hotel Daichi Jakarta serta hasil
pembahasan sidang Komisi Kode Etik dalam kongres IAI VII di Bandung. Kongres
menghasilkan ketetapan bahwa Kode Etik Akuntan Indonesia terdiri atas:
1.
Kode Etik Akuntan
Indonesia yang disahkan dalam kongres VI IAI di Jakarta terdiri atas 8 BAB dan
11 pasal ditambah dengan 2.
2.
Pernyataan Etika Profesi
No.1 sampai dengan 6 yang disahkan dalam kongres IAI VII di Bandung tahun 1994.
Dalam
rangka meningkatkan kualitas profesi akuntan, IAI dalam kongres VIII telah
merumuskan Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru. Kode Etik ini mengikat para
anggota IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan
atau belum menjadi anggota IAI di sisi lainnya. Kode Etik Akuntan Indonesia
yang baru tersebut terdiri dari tiga bagian (Prosiding kongres VIII, 1998),
yaitu :
1.
Kode Etik Umum
a.
Terdiri dari prinsip etika profesi, yang
merupakan landasan perilaku etika profesional, memberikan kerangka dasar bagi
Aturan Etika, dan mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota.
b.
Prinsip Etika disahkan oleh konggres dan
berlaku bagi seluruh anggota.
.
2.5 Penegakan Etika
Profesi Akuntan di
Indonesia.
Di
Indonesia, penegakan Kode Etik dilaksanakan oleh
sekurang–kurangnya enam unit organisasi, yaitu : (Prosiding Kongres VIII, 1998)
1.
Kantor Akuntan Publik.
Ketaatan terhadap kode etik adalah
tanggung jawab pimpinan KAP dimana anggota itu bekerja. Managing partner dan
partner serta manager KAP melaksanakan pengawasan terhadap ditaatinya perilaku
ini.
2.
Unit Peer Review
Kompartemen Akuntan Publik – IAI.
Di
lingkungan Kompartemen Akuntan Publik, usaha pengawasan ini diwujudkan dalam
bentuk "Peer Review" yang
penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Seksi Pengendalian Mutu di lingkungan
kepengurusan IAI di Kompartemen tersebut. Pengawasan oleh Unit Peer Review yang khusus dibentuk untuk mengawasi sesama KAP
sampai saat ini belum pernah terlaksana.
3.
Badan Pengawas Profesi Kompartemen Akuntan Publik –
IAI.
Badan
ini merupakan unit organisasi yang melaksanakan peradilan pada tingkat
pertama terhadap pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh anggota IAI kompartemen akuntan pendidik.
4.
Dewan Pertimbangan Profesi IAI.
Dewan
ini berfungsi sebagai peradilan tingkat banding untuk kasus-kasus yang telah
diputuskan hukumnya berdasar keputusan pada tingkat Badan Pengawas Profesi. Dewan
ini melaksanakan peradilan untuk kasus-kasus pelanggaran lainnya yang tidak
berkaitan dengan akuntan publik.
5.
Departemen Keuangan RI.
yaitu:
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan,
misalnya Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai. Ia sebagai pemberi ijin
praktek Akuntan Publik. Pengawasan yang dilakukannya pada umumnya untuk menilai
apakah KAP yang diberi ijin telah melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan keputusan Menteri Keuangan tentang perijinan pembukaan KAP
(SK Menkeu 43/KMK 017/1997) tanggal 27 Januari 1997 tentang jasa akuntan
publik.
6.
BPKP.
Berdasarkan Keppres
31/th 1983, wewenangnya
adalah melaksanakan pengawasan
terhadap KAP. Dalam melaksanakan tugasnya, BPKP melakukan evaluasi
tentang kepatuhan KAP terhadap perizinan yang diberikan dan terhadap
pelaksanaan tugas profesional akuntan publik.
Selain keenam unit
organisasi tadi, pengawasan terhadap Kode Etik diharapkan dapat dilakukan
sendiri oleh para anggota dan pimpinan KAP. Hal ini tercermin di dalam rumusan
Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 1 ayat 2, yang berbunyi :
2.
Setiap anggota harus
selalu mempertahankan nama baik profesi dan etika profesi serta hukum negara di mana ia
melaksanakan tugasnya.
3.
Setiap anggota harus
selalu mempertahankan integritas dan obyektifitas dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas dan tanpa
pretensi. Dengan mempertahankan obyektifitas, ia akan bertindak adil tanpa
dipengaruhi tekanan / permintaan pihak tertentu / kepentingan pribadinya.
Selanjutnya dalam pasal 2
ayat (1) b disebutkan bahwa: "Jika seorang anggota mempekerjakan staf dan
ahlinya untuk pelaksanaan tugas profesionalnya, ia harus menjelaskan kepada
mereka keterikatan akuntan pada Kode Etik. Dan ia tetap bertanggung jawab atas
pekerjaan tersebut secara keseluruhan. Ia juga berkewajiban untuk bertindak
sesuai Kode Etik. Jika ia memiliki ahli lain untuk memberi saran / bila
merekomendasikan ahli lain itu kepada kliennya”.
2.6 Beberapa Pelanggaran Kode
Etik Akuntan di Indonesia.
Meskipun telah dibentuk
unit organisasi penegakan etika sebagaimana disebutkan di atas, namun demikian
pelanggaran terhadap kode etik ini masih ada. Berdasarkan Laporan Dewan
Kehormatan dan Pengurus Pusat IAI dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap Kode
Etik dan sengketa secara umum meliputi sebagai berikut :
1.
Kongres V (1982-1986),
meliputi : (Hoesada, 1996): 1) Publikasi (penawaran jasa tanpa permintaan,
iklan, pengedaran buletin KAP). 2) Pelanggaran Obyektifitas (mengecilkan
penghasilan, memperbesar biaya suatu laporan keuangan). 3) Isu pengawas intern
Holding mempunyai KAP yang memeriksa perusahaan anak Holding tersebut). 4)
Pelanggaran hubungan dengan rekan seprofesi. Dan 5) Isu menerima klien yang
ditolak KAP lain dalam perang tarif.
2.
Kongres VI (1986-1990),
meliputi : (Hoesada, 1996): 1) Publikasi (ucapan selamat hari Natal, Tahun
Baru, Merger pada perusahaan bukan
klien, selebaran, iklan). 2) Perubahan opini akuntan tanpa bukti pendukung yang
kuat. 3) WTP tanpa kertas kerja memadahi. 4) Surat akuntan pengganti. 5) Sengketa
membawa kertas kerja keluar KAP. 6) Wan Prestasi pembayaran fee. Dan 7) Pengaduan pemegang saham minoritas tentang Laporan Keuangan,
KAP dituduh memihak.
3.
Kongres VII
(1990-1994), jumlah kasus 21 buah melibatkan 53 KAP, pengaduan terutama berasal
dari instansi pemerintah dan BUMN pemakai Laporan (50 % pengaduan), perusahaan
klien (30 %), sisanya oleh KAP dan pengurus IAI (20 %). (Hoesada, 1996)
Pengaduan meliputi : 1) Dua
pengaduan Bappepam tentang kualitas kerja. 2) Sebuah pengaduan Bapeksta tentang
cap dan tanda tangan tanpa opini dan tentang pernyataan akuntan terkait pasal
47 KUHD (35 KAP). 3) Pengaduan Direktor Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan
tentang penyimpangan Laporan AT dan PAI. 4) Pengaduan Deputi BPKP atas audit
perusahaan daerah sesuai NPA. 5) Pengaduan Deputi BPKP tentang penawaran atas
kerja sama dalam rangka pemberian jasa akuntan. 6) Pengaduan PT Taspen tentang
audit tidak sesuai NPA. 7) Pengaduan klien KAP tentang audit tidak sesuai NPA,
laporan audit terlambat, tidak sesuai PAI, dua opini berbeda dua KAP untuk
klien periode sama, tugas tidak selesai dan berkas hilang. 8) Pengaduan antar
KAP tentang komunikasi akuntan pengganti dan akuntan terdahulu. Dan 9) Pengaduan
iklan oleh pengurus IAI.
4.
Konggres VIII
(1994-1998), meliputi: objektivitas, komunikasi, standart teknis dan kerahasiaan
(Riyanti,1999).
Adanya
kesalahan sama, yang terulang dari tahun ke tahun tersebut disebabkan karena
pengurus lini pertama sampai tingkat atas yaitu Dewan Kehormatan bersifat
tertutup. Hal ini menunjukkan kekurangseriusan IAI dalam menyelesaikan masalah
secara tuntas.
Sidang
Komisi Kongres IAI VIII bagian
Pendahuluan Kode Etik IAI menyatakan bahwa: “Kepatuhan terhadap Kode Etik,
seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama
sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan
anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh
opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran
Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan terhadap anggota yang tidak
menaatinya. Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang
ditetapkan oleh badan pemerintah yang mengatur bisnis klien atau menggunakan
laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.“
Menurut
Yani (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran kode etik, meliputi:
1.
Faktor ekstern (uncontrollable), yaitu : 1) Kurangnya
kesadaran anggota masyarakat (termasuk anggota KAP) akan kepatuhan terhadap
hukum. 2) Honorarium yang relatif rendah untuk pekerjaan audit yang ditawarkan
klien–klien tingkat menengah dan kecil. 3) Praktek-praktek yang tidak benar
dari sebagian usahawan yang menyulitkan independensi akuntan publik. Dan 4)
Masih sedikitnya Badan Usaha yang membutuhkan jasa akuntan publik, khususnya
dibidang audit.
2.
Faktor intern (controllable), yaitu : 1) Tidak adanya
perhatian yang sungguh–sungguh dari sebagian pimpinan KAP akan mutu pekerjaan
audit mereka. 2) Orientasi yang lebih mementingkan keuntungan Finansial dari
pada menjaga nama baik KAP yang bersangkutan. 3) Pendapat bahwa
perbuatan–perbuatan yang melanggar etik ini tidak atau kecil kemungkinannya
diketahui pihak lain. 4) Kurangnya kesadaran untuk mengutamakan etik dalam
menjalankan profesi oleh sebagian anggota IAI-KAP. Dan 5) Mutu pekerjaan audit
yang ada kalanya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena penggunaan tenaga
yang berkualitas kurang baik.
Menurut
Agoes (1996), beberapa hambatan dalam penegakan kode etik antara lain :
1.
Sikap anggota profesi
yang mendua, pada satau sisi menolak setiap pelanggaran terhadap kode etik
tetapi pada sisi lain memberikan pembenaran atas pelanggaran tersebut.
2.
Adanya sifat sungkan dari
sesama anggota profesi untuk saling mengadukan pelanggaran kode etik. 3) Belum
jelasnya aturan tentang mekanisme pemberian sanksi dan proses peradilan atas
kasus-kasus pelanggaran baik dalam Anggaran Dasar maupun dalam Anggaran Rumah
Tangga. Dan 4) Belum dapat berfungsinya secara efektif BPP dan DPP sebagai
akibat dari belum jelasnya peraturan dalam AD/ART.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persamaan
dari kode etik adalah sama-sama suatu sistem norma, nilai dan aturan
profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan
apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan
perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa
yang harus dihindari. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi
perbuatan yang tidak profesional. Dan perbedaan dari setiap kode etik suatu
profesi setiap etika profesi mempunyai kode etik masing-masing dan tersendiri
yang dibuat oleh badan yang mengatur etika profesi tersebut. Pelanggaran kode
etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu
berarti melanggar hukum, tapi pelanggaran kode etik akan diperiksa oleh majelis
kode etik dari setiap profesi tersebut.
3.2 Saran
Harus ada
lembaga yang berbeda-beda dalam menaungi berbagai profesi yang ada, dimana lembaga
tersebut merupakan sekumpulan orang yang memiliki profesi yang sama dengan
tujuan dapat menciptakan tatanan etik dalam pekerjaan. Dan semua
lembaga-lembaga profesi tersebut harus memiliki tujuan yang satu yaitu
mengutamakan profesionalitias dalam bekerja yang dilihat dari kepatuhan
menjadikan kode etik profesi sebagai pedoman. Etika profesi akuntansi diatur
oleh suatu badan atau organisasi yang bertanggung jawab di lingkup akuuntansi
seperti Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI),Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
sedangkan untuk etika profesi yang lain diatur oleh organisasi yang berbeda
sesuai dengan profesinya masing-masing.
No comments:
Post a Comment